Sejuta Kenangan Dikota Malang
Malang, kota dimana kini aku berpijak, kota dimana saat ini aku melanjutkan
pendidikan. Dikota ini aku mengenal akan dunia baru dan teman baru. Malang
merupakan kota dingin, kota dimana banyak sekali pendatang, entah untuk mencari
pekerjaan maupun melanjutkan pendidikan. Malang sendiri mempunyai ikon yaitu
Balai kota malang yang biasa disebut alun-alun tugu. Saya mencoba untuk
berkunjung ke tempat itu untuk sejenak
beristirahat.
Akhirnya sisi luar alun-alun tugu saya pijak. Lalu memiringkan tubuh di
sela-sela tiang besi setinggi perut. Bukan tanpa tujuan penempatan tiang-tiang
besi di lima pintu masuk alun-alun tugu. Ya, tak lain supaya tak ada orang
usil memasukkan motor atau sepeda mereka ke dalam taman. Cukuplah taman ini dinikmati
orang-orang yang ingin berjalan santai. Dan juga bagi orang-orang atau keluarga
yang ingin berekreasi secara sederhana, pada pagi dan sore. Murah meriah.
Menurut sejarahnya, Monumen tugu pernah hancur akibat Agresi Militer
Belanda I. Monumen sebagai simbol kemerdekaan tersebut awalnya berdiri tepat
setahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Belanda kembali
menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia – usai Agresi Militer Belanda II ,
pemerintah Kota Malang kembali ke balai kota pada 2 Maret 1950. Dan tiga tahun
kemudian, tugu kemerdekaan dibangun kembali. Bung Karno pun meresmikan tugu
tersebut untuk kedua kalinya.
Tugu yang dikelilingi oleh kolam dan taman cantik tak sekadar terkungkung
begitu saja. Tugu yang hampir mirip dengan Tugu Muda di Kota Semarang tersebut
memiliki nilai filosofi tinggi. Pada puncak tugu berbentuk bambu tajam dan
runcing, menandakan simbol senjata yang dahulu digunakan rakyat melawan
penjajah. Senjata tradisional untuk merebut kemerdekaan.
Terdapat pula rantai yang menggambarkan kesatuan rakyat Indonesia yang
sangat menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Kemudian tangga yang berbentuk 4 dan
5 sudut, mempunyai 8 tingkat dan 17 fondasi. Melambangkan tanggal bersejarah
Indonesia yaitu 17 Agustus 1945 yang menjadi hari kemerdekaan republik ini. Dan
keseluruhan dari alun-alun tugu ini, dikelilingi oleh jalan raya yang
melingkar. Serta keberadaan pohon trembesi yang rindang.
Tegaknya monumen tugu begitu kokoh. Sekalipun sempat hancur, namun sekali
dibangun kembali kini tak pernah runtuh lagi. Seperti sesanti Malaangkuca-icwara
–atau biasa ditulis Malang Kucecwara– yang tertulis di bawah tugu
dalam lambang Kota Malang, ada pesan tegas di sana. Setegak dan sekuat monumen
tugu berdiri, setegak dan sekuat itu pula sesanti tersebut digaungkan.
Bahwa Tuhan menghancurkan yang batil, menegakkan yang benar. Bagi
saya, kata-kata tersebut adalah doa untuk kemakmuran kota dan masyarakatnya.
Doa yang menjaga tahta adipura kencana. Juga pengingat bagi kaum pendatang
seperti saya untuk menata niat kembali tentang arti perantauan.
Alun-alun tugu dan Balai Kota Malang ini sebenarnya adalah tempat di
mana rasa terima kasih disampaikan dalam bentuk yang manis. Sekalipun
Pemerintah Hindia Belanda sudah sangat lama menduduki Kota Malang, namun mereka
telah memberikan fondasi kota yang hebat. Gedung balai kota dan ruang wali kota
yang megah dipertahankan keasliannya. Alun-alun tugu yang dari dulu hingga kini
tetap bundar. Dibangunnya monumen tugu adalah simbol kemerdekaan. Di sinilah
sejarah masa lalu masih tergambar cukup baik.
Saat berada di dalam taman alun-alun tugu, saya bagaikan titik pusat.
Terlindung dengan pagar yang memutar, saya aman dari lalu-lalang kendaraan.
Untuk sejenak, saya bebas dari kepadatan lalu lintas yang mengelilingi
bundaran ini. Tugu berwarna kehitaman itu menjadi pusat perhatian. Monumen
penuh filosofi itu berdiri kokoh dikelilingi kolam air dengan bunga-bunga
teratai ungu di atasnya. Keseluruhan kombinasi tersebut dilindungi oleh pagar
besi bercat hijau. Pintu kecil di sebelah barat tertutup rapat. Terkunci. Hanya
pada momen-momen tertentu saja pagar tersebut dibuka. Saat dikuras atau
dibersihkan, mungkin. Tepat di selatan dari taman alun-alun tugu ini,
berdiri gedung Balai Kota Malang yang cantik namun terkesan bersahaja. Nyaris
bergaris lurus dari tugu itu. Hanya dipisahkan oleh Jalan Tugu yang sama.
Dilintasi lalu-lalang kendaraan dari arah Stasiun Malang.
Taman alun-alun tugu ini dan lobi teras di lantai dua gedung Balai Kota itu
mengingatkan saya akan sejarah di masa lalu. Memandang taman ini, tugu, dan balai kota itu.
Deru mesin kendaraan bermotor, cuap-cuap pengunjung lain, mendadak samar.
Tersapu semilir angin kota yang masih membawa sedikit kesejukan. Ada yang
berbicara, menuturkan sejarah. Anginkah yang berbicara? Atau ingatan itu
sendiri. Mata seolah termanjakan dengan hamparan teratai yang mengelilingi
monumen tugu.
Saya bangkit dari duduk. Berjalan menuju tempat parkir, namun mata masih
mengedarkan pandangan ke monumen tugu dan balai kota. Cantik sekali. Berpagar
melengkung diselingi pintu masuk sebanyak empat penjuru dari jalan raya
(mewakili empat ruas jalan di luar bundaran), dan pintu masuk utama menuju
balai kota. Jika balai kota tersebut ibarat rumah dan alun-alun tugu adalah
taman sekaligus gerbang depan. Lalu air mancur dan bunga teratai mekar semarak.
Kehadiran saya dan pengunjung lainnya seperti disambut hangat. Seakan ada
tangan terbuka dan senyum merekah sembari mengucap: Selamat datang di Kota
Malang!
Hujan yang datang, angin yang semilir membawa cerita, cerita tentang kota
malang. Kota yang akan kurindukan kelak ketika aku kembali ketempat asalku.
Rintik hujan seakan menambah kehangatan di sela-sela jari. Malang kota romantis
dengan hujan nya. Hujan yang menyegarkan semuanya, menyegarkan pikiran dan mendamaikan
hati. Dingin, menambah semakin aku betah disini dan tak ingin meninggalkan kota
ini.
Hujan bagiku membawa cerita tersendiri, merindukan kehangatan di
tengah-tengah keluarga yang jauh dimata. Tetapi berbeda dengan orang lain, seorang
tukang parkir yang selalu menjaga dan menata sepeda-sepeda pengunjung. Hujan
membuat pengunjung semakin sepi karena tidak ada nya tempat berteduh didalam
bundaran.
“ Kalau hujan gini, pengunjung tetap ramai ya pak?”, tanya saya kepada
tukang parkir.
“ Sepi mbak, kan di dalam tidak ada tempat berteduh, jadi kalau hujan ya
bingung mau berteduh dimana,” jawab tukang parkir itu.
“ oohh iya pak saya mau pulang dulu, ini, uang parkirnya pak, tambah saya
sembari membayar uang parkir.
“iya mbak makasih, hati-hati jalannya licin”, tambahnya.
Saya pun beranjak pergi karena sudah tidak memungkinan untuk berteduh
disitu. Hujan semakin deras mengguyur Malang, jalan-jalan pun mulai tergenang
air, saya perlahan mengendarai sepeda karena takut jalannya licin. Hujan di
malang mungkin membawa cerita bagiku tapi mungkin bagi orang lain disana
membawa bencana, entah itu banjir atau dagangan jadi sepi dan lain halnya.
Tetapi hujan merupakan berkah dari Allah.
0 komentar:
Posting Komentar